Cerpen - Impian Dan Angan

 Alex Sierra - Siang merupakan kebalikan dari malam, tidak tahu apakah itu hanya sebuah ungkapan sederhana ataukah memang sebuah pembatas antara ada dan tiada. Ah iya perkenalkan saya Jimson, seorang pemuda yang kehidupannya biasa-biasa saja.

Kesehariannya saya hanya mencoba untuk hidup dengan biasa saja, tak ada satupun hobi atau kegiatan yang benar-benar bisa membangkitkan gairahku. Saya juga merupakan anak yatim piatu yang sejak kecil telah hidup bersama paman & bibi.

Meski harus kuakui, paman banyak mengajarkanku tentang hal-hal yang sedikit bisa memancing rasa penasaran. Saya coba bercerita sedikit tentang bagaimana paman bisa menjadi orang yang bertanggung jawab atas diriku.

Cerpen - Impian Dan Angan
Source : pexels/ eberhard grossgasteiger

Pada waktu itu, tepat 28 tahun yang lalu saya dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Wildernhem. Kata paman, kehidupan di desa saat itu sangatlah tentram. Semua lapisan masyarakat saling bahu membahu dalam segala hal.

Pemukiman penduduk dibalik megahnya perbukitan & diisi dengan sumber daya alam yang tak terhingga membuat desa tersebut makmur. Tentunya itu adalah milik alam dan selalu milik alam, hingga manusia yang licik mendambakan segalanya seorang diri merusak tatanan kehidupan tersebut.

Ayah & ibu merupakan orang terpandang didesa karena ayah mempunyai ilmu botani yang cukup handal. Sedangkan ibu adalah wanita anggun yang penuh dengan seni dalam dirinya. Mempunyai kedua orang tua yang seperti itu tentu akan membuat siapa saja merasa iri.

Sedangkan paman & bibi adalah petani seperti masyarakat lainnya. Disaat paman menanam jagung, bibi juga turut membantu. Kehidupan berjalan dengan normal hingga suatu kejadian yang memang benar-benar harus membuatku menerima keterpurukan yang berat ini.

Menjadi seorang botani yang handal tentu memiliki pesaing entah itu dari dalam desa maupun luar. Orang-orang yang menjadi pengikut ayah juga bukanlah orang-orang yang tidak terpelajar. Mereka bahkan disebut-sebut sebagai suksesor ayah kelak.

Kejadian bermula saat salah seorang pengikut ayah merasa bahwa ia lebih berkompeten dalam hal pertanian. Ia menuding desa telah lama menutup kesempatan bagi dirinya untuk menunjukan keahlian dalam dirinya.

Ia juga menuding ayahlah biangnya. Tanpa alasan yang jelas & bukti-bukti yang kuat ia menuduh ayah mencuri idenya untuk membuat sebuah lahan yang berjarak 35 meter dari sumber mata air. Menurutnya lahan yang dekat sumber mata air tentu akan menghasilkan kualitas terbaik.

Para masyarakat yang awam merasa jika opininya sangat bagus dan terukur, tapi tidak dengan ayah. Para tetua desa juga tidak langsung mempercayakan opini tersebut dan menantikan jawaban dari ayah.

Tidak tinggal diam, ayah memberikan jawaban telak.

"Para tetua & sahabat yang saya kasihi, menurut saya jika kita membuka sebuah lahan dengan jarak 35 meter dari mata air, bukan hanya mengancam mata air tersebut. Tapi juga bisa mengancam ekosistem kehidupan kita sendiri" Jelas ayah.

"Kita telah hidup dengan damai di desa ini beratus-ratus tahun lamanya. Jika memang opini dari saudara (sebut saja Gutherm) benar adanya, berarti ilmu botani yang diturunkan turun temurun adalah ilmu yang salah?" Tanya ayah.

Sejenak para tetua, warga, dan pengikut ayah diam tak bersuara.

"Saya yakin ini hanyalah sebuah kesalah-pahaman. Saudara Gutherm tentu memiliki opini yang bagus, saya tidak akan menyalahkan dirinya. Tapi jika saya boleh bersaran, kita harus tetap hidup dengan prinsip-prinsip yang telah lama dibangun" Tegas ayah.

Para tetua dan warga sekitar setuju jika ini hanyalah suatu kesalah-pahaman saja. Tidak ada yang melanjutkan perdebatan dan masalah ini seperti hilang terbuai angin yang relaks, pelan-pelan memudar begitu saja.

Namun ada yang tidak diketahui oleh semuanya, bahwa sifat iri dan dengki manusia tidak akan hilang begitu saja dengan pembuktian salah atau benar. Benar saja, Gutherm membuat siasat untuk mencelakakan ayah.

Tak perlu waktu lama, mentari yang bersembunyi dibalik bukit dan meninggalkan bulan untuk berganti peran menunjukan waktu yang tepat bagi Gutherm melampiaskan emosinya. Sebuah cangkul berkarat dan tua ia pikul masuk ke dalam rumah kami.

Heningnya malam dan sebuah bohlam berukuran kecil, dengan cahaya yang minim seakan membantu Gutherm agar siasatnya lebih mudah terlaksana. Ia pun berdiri tepat disamping ayah dengan bermaksud untuk mencangkul tangan ayah.

Dari niatannya, Gutherm sekedar ingin mencederai ayah agar kelak tangannya tidak lagi dapat dipakai. Namun siapa sangka, ayah mempunyai fisik yang cukup kuat. Sekali ayunan cangkul tersebut tidak menyurutkan kewaspadaan ayah.

Balasan dari ayah adalah dengan memukul wajah Gutherm tepat disisi kirinya. Gutherm yang mendapat pukulan telak itu akhirnya terbawa suasana hingga melayangkan cangkul tepat ke arah kepala ayah. 

"Banggg..." Suara hantaman keras terdengar dan selalu terbayang dalam otakku.

Dalam hitungan detik ayah kehilangan kesadaran & tumbang. Ibu hanya bisa berteriak dengan kencang sembari menggendongku. Gutherm yang telah puas dengan ketiadaan ayah lantas dengan cepat meninggalkan kamar kami.

Tidak sampai disana, ia berencana memusnahkan saya dan ibu sekaligus. Ia mendapati bensin dibawah dan dihidupkannya api kecil sehingga menjalar ke seluruh rumah yang terbuat dari papan ini. Ibu yang masih panik atas kematian ayah tidak dapat berfikir matang untuk cepat meninggalkan rumah.

Saya paham, ibu tentu tidak ingin meninggalkan ayah sendirian dalam kobaran api tersebut. Namun, waktu terus berjalan dan api tak kunjung mengecil. Hingga paman dan bibi di bawah menjerit keras agar mendahulukan diriku.

Ibu yang linglung, seakan tidak mendengar teriakan paman dan bibi dari bawah sana. Ia terus menggendongku erat dan meratapi tubuh ayah yang terbujur kaku di lantai. Tak berselang lama, ibu akhirnya melemparkanku ke bawah dan ditangkap oleh paman.

Paman dan bibi tak henti-henti berteriak agar ibu ikut melompat. Tapi seperti malaikat yang mengucapkan selamat tinggal, ibu tidak berkata-kata apapun, ia hanya tersenyum kepadaku dan pingsan seketika.

Kematian ayah & ibu merupakan pukulan berat untuk seluruh desa. Mereka tidak menyangka bahwa ada salah satu penduduk yang telah mengacaukan tatanan kehidupan bersosialisasi yang tentram di desa tersebut.

Kincir angin pembangkit listrik berputar dengan biasanya, domba-domba masih tetap berlarian. Namun manusia diseluruh desa sangat sedih dan tak berekspresi seperti biasanya. Mereka bagaikan tanaman yang hanya mendapati sinar matahari tanpa diberi siraman, hidup namun tidak segar.

Waktu terus berjalan seperti biasa & ketentraman tetap terjaga seperti biasanya. Namun ada yang hilang dibalik ketentraman tersebut, kebahagiaan dan keceriaan para penduduk seakan telah benar-benar menjadi sejarah.

Puluhan tahun saya dibesarkan oleh paman dan bibi, tanpa ada beban di pundak mereka. Bahkan saya dianggap anak mereka sendiri, saya dan sepupu tetap menjadi diri masing-masing. Paman juga banyak mengajarkan kami tentang sifat-sifat manusia.

Agar kelak kami bisa mengetahui mana yang benar dan salah dibutuhkan kebijaksanaan dalam menilai setiap aspek. Seperti yang saya katakan diawal, saya tidak pernah merasakan gairah yang menggebu-gebu terhadap apapun.

Saya hanya mencoba melihat dunia ini dari sisi tergelap, agar kelak saya tahu darimana saya akan menciptakan cahaya itu sendiri. Pela-pelan saya akan tetap menjadi manusia yang mempunyai impian dan angan.

Namun satu hal yang pasti, manusia tetap berubah. Tidak ada yang namanya abadi dalam diri manusia, hari ini baik belum tentu besok. Saya akan selalu belajar mengenai dua sisi yang sebenarnya adalah satu.


Disclaimer : tulisan ini merupakan karya fiktif. Kesamaan nama tokoh maupun tempat merupakan karangan yang tidak disengaja.

Posting Komentar

0 Komentar